7/12/2014

Kenangan itu; malam bisa terang dan siang bisa gelap

Semanjak itu, setelah itu, semua direngut oleh waktu yang terus memburu agar semua angin terus maju dan meninggalkan angin palsu yang tak bisa berfungsi lagi. Indi yang telah lama membuat sangkar yang penuh pita warna warni yang terus memnyambung membuat simpul antara tali satu dengan lainya terasa indah sekali dan sejuk untuk dihuni, ia seperti akan hidup dalam kesenangan yang terus menyambung dari utaian tali–tali yang berwarna itu, namun semuanya jatuh karna waktu yang kejam itu tarus memburu lewat angin–angin.  
Terlelap dalam kesunyian malam, senyap–senyap lirih angin menggelimuti kegelapan malam dan sebuah angin kecil menampar muka yang lusuh dan terduduk di antara semak–semak yang kotor, satu persatu rumput liar kucabut dan kugenggam bersama tanah dengan erat-erat ku gemgam lalu lemparkan kebawah bukit sambil termengu. Ingin sekali kuteriak namun sesak pada tenggorokan membuat semuanya tak punya suara. Bergeming di atas bukit menatap lampu–lampu kota Bandung yang terang benerang, namun masih dipenuhi sisa-sisa kebisingan kota yang tersumbat oleh penat. Semuanya bisa terlempar diatas bukit ini. Diatas bukit yang lusuh ini.
Aku. Aku suka kesunyian diatas bukit yang lusuh ini sambil menatap sisa–sisa kebisingan dibawah lampu–lampu ibu kota. Hari–hariku penuh dengan catatan–catatan tinta hitam. Masa yang kelam. Mentari pagi setiap hari selalu berbeda, namun aku tetap seperti ini, menatap kesedihan, menatap luka, menatap lara dan menatap kekosongan. Entah ada apa dalam hidupku!, padahal aku sendiri merasa bahagia hidup bersama keluarga yang utuh dan mempunyai banyak teman, berkumpul bercengkrama menatapa hari–hari yang berbeda. Kadangkala aku gelisah dan resah namun apa yang aku cemaskan dalam hidupku! Aku merasa di duni ini tak punya teman namun semua temanku sangat antusias ketika mereka dibutuhkan! Hari–hariku penuh dengan kebimbangan akan tetapi live must go on. Semua kepenatan bisa hilang ketika aku pergi kekampus bertemu teman–teman canda riang penuh tawa yang lepas sambil mengerjakan tugas–tugas kuliahku. Semua penatku akan hilang, ketika aku bersama teman–teman namun teman setia adalah senyap dan lara yang membelenggu.
Sore itu, senja akan lewat namun awan lebih tebal untuk menutup senja yang bersahaja. Trans Metro Bandung(TMB) adalah transportasi yang mengantarkannya antara ke kampus dan rumahnya. Indi selalu duduk si sudut kursi bis, sambil menatap aktifitas di balik kaca jendela. Menatap orang–orang yang datang dan pergi di dalam bis itu. Tiba–tiba naiklah seorang ibu dengan menggendong anaknya yang merengek dan membawa tas yang mungkin banyak barang hingga seutas kain keluar dari sela–sela ritsleting, terus berjalan ke tengah bis sambil berdesakkan mencari tempat duduk. Ibu itu terus meniupi kening anaknya yang terus berkeringat sesekali menghapus keringat anaknya degan ujung samping yang mengikat antara leher ibu dan badan anak itu supaya tetap terjaga dalam pangkuan. Dia seperti menatap masa silam, dimana dia ketika berumur empat tahun, sentuhan ibu indi tak pernah lepas lebih dari satu menit. Ibunya selalu mencemaskannya ketika dia bermain bersama teman–teman sebayanya, sesekali ibu menengok ke rumah tetangga untuk memastikan bahwa ia sedang bermain di sana, kadang kala ibu membawa sepiring nasi dan segelas air putih, karena hari itu dia belum makan siang, setiap suap yang ibu berikan adalah sebuah langkah kesabarannya, tiap suap yang ibu berikan penuh dengan nasihat “Jangan, lari–lari! Ntar nasinya keluar lagi, neng” tapi dia tak mempedulikan nasihat itu karna sedang asik menata boneka Barbie yang dirias dengan beragam dress dan pernak pernik lainya.
Kenangan bersama ibunya kini sudah terkikis oleh waktu yang terus membidik ibunya untuk terus mencari apa yang harusnya dia cari. Dia merasa sepi, tak bisa lagi bercerita tentang apa kesulitannya dewasa ini, nasihat–nasihat ibu yang selalu menemani langkahnya lenyap semua sudah oleh kejamnya waktu yang terus memburu. Suatu ketika, dia benar–benar membutuhkan nasihat ibunya. Di ruang keluarga yang dulu penuh cerita dan nasihat, kini semua terkikis demi uang yang harus membeli segala kebutuhan mereka, di pojok sofa yang berwarna biru ibunya sedang besantai menonton tv dan dipinggirnya Handphone, ayahnya di pojok ruang keluarga tepatnya di depan computer sedang fokus dengan laporan-laporan kantornya, kakanya sibuk menelpon pacarnya yang baru pulang dari luar negri dan bi ina sedang sibuk membereskan meja yang penuh debu. Indi baru sampai rumah selepas pulang kuliah dan terduduk di sofa yang bersebrangan dengan tempat duduk ibunya. Tak ada sapa!tak ada Tanya! Hening, sekali yang bersuara hanyalah suara Tv yang ramai dengan berita kenaikan cabai, bawang merah, bawang putih dan jenis rempah–rempah yang lainya. Ibunya sibuk mengutak ngatik remote Tv yang memberitakan kenaikan rempah–rempah sambil sesekali mengecek handphonenya yang tergeletak dipinggir tangan kirinya.
Duduk sambil menghembuskan napas, dia menatap ibunya sepertinya sedang santai, mungkin ini waktu yang tepat untuk menoreh nasihat-nasihat ibunya, “bu, aku…..” belum dia sebutkan masalah apa yang ia tidak bisa selesaikan sendiri, ibunya tiba - tiba mengangkat telepon yang entah dari siapa,”bentar ya neng, neng, kalo butuh apa–apa bilang aja ke bi ina yah!”, jawabnya sambil menggengam Hp berjalan keluar rumah dengan membawa tasnya.
Lamunanya terbangun ketika seorang laki–laki menyapanya untuk duduk disebelahnya, “teh, boleh duduk disini?”sambil tersenyum. “silahkan,a!”. Dengan senyumnya. Bis mulai melaju lagi menuju halte berikutnya, ia mulai memperhatikan jalanan yang lusuh namun udaranya sangat panas dibalik kaca jendela, yang sesekali terdengar berisik suara sepasang remaja dengan lepasnya mereka tertawa, sedangkan ibu yang menggendong anak kecil itu sudah duduk dengan tenang sambil melihat jalan  dan sesekali menatap muka anaknya sambil mengelus–ngelus kening anaknya yang terus berkeringat. Nyatanya diluar sana hujan mulai membasuhi seluruh tapak aspal yang panas, namun sepasang remaja dengan indahnya duduk besampingan dengan tawa yang lepas duduk di halte. Mereka saling menatap lalu menunjuk ke arah ranting pohon yang rapuh dan terbasuh oleh hujan yang meruntukan daun–daun tua, tertera dua ekor burung merpati sedang berteduh. Mereka seperti mengisaratkan bahwa hidup itu harus berdampingan walau dalam nyatanya banyak rasa yang pelik akan meniup. Masa itu mengingatkannya pada sebuah titik rindu, di mana dia pernah duduk bersama kekasihnya dibawah sinar bulan purnama diatas bukit dengan penuh warna lampu–lampu ibu kota. Semua kegelisahan, kesedihan, kebahagiaan, mereka utarakan  semuanya di atas bukit yang merdu bersama iringnan puput angin malam. Mereka selalu bercengkrama bercanda, bersukaria. Selama lima tahun lamanya merka tak pernah luput dari perhatian di antara mereka, disaat air hujan matanya yang menetes di antara kekejaman sekitar yang terus menerus menghardiknya teman setianya selalu memutus tiap tetes rintikan yang jatuh mengarungi pipinya hingga sampai pada belahan dagunya yang menetes pada lantai. Tiba–tiba indahnya bulan purnama ada yang merebut cahayanya dibalik bintang–bintang yang telah mereka jaga.
Entah waktu yang mengisaratkan mereka untuk berpisah, duduk dibatasi oleh dinding tinggi untuk berjalan hingga mereka bisa menemukan jalan masing–masing. “Waktu telah memakan semua apa yang aku punya, saat dulu aku tak merasa bahwa malam memang gelap, dan siang memang terang!”
Neng, neng, “bangun!” seorang kendenk berkata sambil mengoyangkan pundaku dengan tanganya.
  
Created by Faisal Gannicious

Bandung, 15 Maret 2013

No comments:

Post a Comment