Kenangan
itu; malam bisa terang dan siang bisa gelap
Semanjak
itu, setelah itu, semua direngut oleh waktu yang terus memburu agar semua angin
terus maju dan meninggalkan angin palsu yang tak bisa berfungsi lagi. Indi yang
telah lama membuat sangkar yang penuh pita warna warni yang terus memnyambung
membuat simpul antara tali satu dengan lainya terasa indah sekali dan sejuk
untuk dihuni, ia seperti akan hidup dalam kesenangan yang terus menyambung dari
utaian tali–tali yang berwarna itu, namun semuanya jatuh karna waktu yang kejam
itu tarus memburu lewat angin–angin.
“Terlelap
dalam kesunyian malam, senyap–senyap lirih angin menggelimuti kegelapan malam
dan sebuah angin kecil menampar muka yang lusuh dan terduduk di antara semak–semak
yang kotor, satu persatu rumput liar kucabut dan kugenggam bersama tanah dengan
erat-erat ku gemgam lalu lemparkan kebawah bukit sambil termengu. Ingin sekali kuteriak
namun sesak pada tenggorokan membuat semuanya tak punya suara. Bergeming di
atas bukit menatap lampu–lampu kota Bandung yang terang benerang, namun masih
dipenuhi sisa-sisa kebisingan kota yang tersumbat oleh penat. Semuanya bisa
terlempar diatas bukit ini. Diatas bukit yang lusuh ini.
Aku.
Aku suka kesunyian diatas bukit yang lusuh ini sambil menatap sisa–sisa
kebisingan dibawah lampu–lampu ibu kota. Hari–hariku penuh dengan catatan–catatan
tinta hitam. Masa yang kelam. Mentari pagi setiap hari selalu berbeda, namun
aku tetap seperti ini, menatap kesedihan, menatap luka, menatap lara dan
menatap kekosongan. Entah ada apa dalam hidupku!, padahal aku sendiri merasa
bahagia hidup bersama keluarga yang utuh dan mempunyai banyak teman, berkumpul
bercengkrama menatapa hari–hari yang berbeda. Kadangkala aku gelisah dan resah
namun apa yang aku cemaskan dalam hidupku! Aku merasa di duni ini tak punya
teman namun semua temanku sangat antusias ketika mereka dibutuhkan! Hari–hariku
penuh dengan kebimbangan akan tetapi live
must go on. Semua kepenatan bisa hilang ketika aku pergi kekampus bertemu
teman–teman canda riang penuh tawa yang lepas sambil mengerjakan tugas–tugas
kuliahku. Semua penatku akan hilang, ketika aku bersama teman–teman namun teman
setia adalah senyap dan lara yang membelenggu.
Sore
itu, senja akan lewat namun awan lebih tebal untuk menutup senja yang bersahaja.
Trans Metro Bandung(TMB) adalah transportasi yang mengantarkannya antara ke
kampus dan rumahnya. Indi selalu duduk si sudut kursi bis, sambil menatap
aktifitas di balik kaca jendela. Menatap orang–orang yang datang dan pergi di
dalam bis itu. Tiba–tiba naiklah seorang ibu dengan menggendong anaknya yang
merengek dan membawa tas yang mungkin banyak barang hingga seutas kain keluar
dari sela–sela ritsleting, terus berjalan ke tengah bis sambil berdesakkan
mencari tempat duduk. Ibu itu terus meniupi kening anaknya yang terus
berkeringat sesekali menghapus keringat anaknya degan ujung samping yang
mengikat antara leher ibu dan badan anak itu supaya tetap terjaga dalam
pangkuan. Dia seperti menatap masa silam, dimana dia ketika berumur empat
tahun, sentuhan ibu indi tak pernah lepas lebih dari satu menit. Ibunya selalu
mencemaskannya ketika dia bermain bersama teman–teman sebayanya, sesekali ibu
menengok ke rumah tetangga untuk memastikan bahwa ia sedang bermain di sana,
kadang kala ibu membawa sepiring nasi dan segelas air putih, karena hari itu
dia belum makan siang, setiap suap yang ibu berikan adalah sebuah langkah
kesabarannya, tiap suap yang ibu berikan penuh dengan nasihat “Jangan, lari–lari!
Ntar nasinya keluar lagi, neng” tapi dia tak mempedulikan nasihat itu karna
sedang asik menata boneka Barbie yang
dirias dengan beragam dress dan
pernak pernik lainya.
Kenangan
bersama ibunya kini sudah terkikis oleh waktu yang terus membidik ibunya untuk
terus mencari apa yang harusnya dia cari. Dia merasa sepi, tak bisa lagi bercerita
tentang apa kesulitannya dewasa ini, nasihat–nasihat ibu yang selalu menemani
langkahnya lenyap semua sudah oleh kejamnya waktu yang terus memburu. Suatu
ketika, dia benar–benar membutuhkan nasihat ibunya. Di ruang keluarga yang dulu
penuh cerita dan nasihat, kini semua terkikis demi uang yang harus membeli
segala kebutuhan mereka, di pojok sofa yang berwarna biru ibunya sedang
besantai menonton tv dan dipinggirnya Handphone, ayahnya di pojok ruang
keluarga tepatnya di depan computer sedang
fokus dengan laporan-laporan kantornya, kakanya sibuk menelpon pacarnya yang
baru pulang dari luar negri dan bi ina sedang sibuk membereskan meja yang penuh
debu. Indi baru sampai rumah selepas pulang kuliah dan terduduk di sofa yang bersebrangan
dengan tempat duduk ibunya. Tak ada sapa!tak ada Tanya! Hening, sekali yang
bersuara hanyalah suara Tv yang ramai dengan berita kenaikan cabai, bawang
merah, bawang putih dan jenis rempah–rempah yang lainya. Ibunya sibuk mengutak
ngatik remote Tv yang memberitakan
kenaikan rempah–rempah sambil sesekali mengecek handphonenya yang tergeletak
dipinggir tangan kirinya.
Duduk
sambil menghembuskan napas, dia menatap ibunya sepertinya sedang santai,
mungkin ini waktu yang tepat untuk menoreh nasihat-nasihat ibunya, “bu, aku…..”
belum dia sebutkan masalah apa yang ia tidak bisa selesaikan sendiri, ibunya
tiba - tiba mengangkat telepon yang entah dari siapa,”bentar ya neng, neng,
kalo butuh apa–apa bilang aja ke bi ina yah!”, jawabnya sambil menggengam Hp
berjalan keluar rumah dengan membawa tasnya.
Lamunanya
terbangun ketika seorang laki–laki menyapanya untuk duduk disebelahnya, “teh,
boleh duduk disini?”sambil tersenyum. “silahkan,a!”. Dengan senyumnya. Bis
mulai melaju lagi menuju halte berikutnya, ia mulai memperhatikan jalanan yang
lusuh namun udaranya sangat panas dibalik kaca jendela, yang sesekali terdengar
berisik suara sepasang remaja dengan lepasnya mereka tertawa, sedangkan ibu
yang menggendong anak kecil itu sudah duduk dengan tenang sambil melihat
jalan dan sesekali menatap muka anaknya
sambil mengelus–ngelus kening anaknya yang terus berkeringat. Nyatanya diluar
sana hujan mulai membasuhi seluruh tapak aspal yang panas, namun sepasang
remaja dengan indahnya duduk besampingan dengan tawa yang lepas duduk di halte.
Mereka saling menatap lalu menunjuk ke arah ranting pohon yang rapuh dan
terbasuh oleh hujan yang meruntukan daun–daun tua, tertera dua ekor burung
merpati sedang berteduh. Mereka seperti mengisaratkan bahwa hidup itu harus
berdampingan walau dalam nyatanya banyak rasa yang pelik akan meniup. Masa itu
mengingatkannya pada sebuah titik rindu, di mana dia pernah duduk bersama kekasihnya
dibawah sinar bulan purnama diatas bukit dengan penuh warna lampu–lampu ibu
kota. Semua kegelisahan, kesedihan, kebahagiaan, mereka utarakan semuanya di atas bukit yang merdu bersama
iringnan puput angin malam. Mereka selalu bercengkrama bercanda, bersukaria.
Selama lima tahun lamanya merka tak pernah luput dari perhatian di antara
mereka, disaat air hujan matanya yang menetes di antara kekejaman sekitar yang
terus menerus menghardiknya teman setianya selalu memutus tiap tetes rintikan
yang jatuh mengarungi pipinya hingga sampai pada belahan dagunya yang menetes
pada lantai. Tiba–tiba indahnya bulan purnama ada yang merebut cahayanya dibalik
bintang–bintang yang telah mereka jaga.
Entah
waktu yang mengisaratkan mereka untuk berpisah, duduk dibatasi oleh dinding tinggi
untuk berjalan hingga mereka bisa menemukan jalan masing–masing. “Waktu telah
memakan semua apa yang aku punya, saat dulu aku tak merasa bahwa malam memang
gelap, dan siang memang terang!”
Neng,
neng, “bangun!” seorang kendenk berkata sambil mengoyangkan pundaku dengan
tanganya.
Created by Faisal Gannicious
Bandung,
15 Maret 2013